Judith Butler: Perjuangan Menuju Pengakuan Identitas Gender dan Keadilan Sosial

Judith Butler. Miquel Taverna/Wikimedia Commons, CC BY-SA
Judith Butler. Miquel Taverna/Wikimedia Commons, CC BY-SA

Judith Butler, seorang filsuf dan ahli teori gender asal Amerika Serikat (AS), telah memainkan peran penting dalam mengembangkan pemikiran tentang identitas gender dan gerakan queer. Dalam kalangan intelektual dan komunitas queer, pentingnya kontribusinya tidak bisa diremehkan. Banyak karya ilmiah, mata kuliah universitas, klub penggemar, laman media sosial, dan komik yang didedikasikan untuk memahami pemikiran Butler.

Sebagai salah satu pelopor teori queer dan ekspansi identitas gender saat ini, Butler tidak sendirian dalam menciptakan perkembangan ini, namun karyanya sering diakui sebagai salah satu faktor utama dalam mewujudkannya.

Butler juga menjadi inspirasi bagi banyak gerakan politik. Dalam sejarahnya, ia pernah bekerja untuk Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional, serta berbicara pada protes Occupy Wall Street yang terjadi di Zuccotti Park, distrik keuangan Wall Street New York pada September 2011.

Selain itu, ia juga mendukung kampanye Boycott, Divestment and Sanctions (BDS), yang bertujuan untuk memboikot, mencabut investasi, dan memberlakukan sanksi terhadap Israel terkait situasi di Palestina. Salah satu tindakan paling terkenal dari Butler adalah ketika ia menolak menerima penghargaan keberanian sipil (Civil Courage Award) di Berlin karena pihak penyelenggara melakukan komentar-komentar rasis.

Namun, peran aktif Butler dalam mendorong keadilan sosial dan kesetaraan sering menimbulkan kontroversi. Beberapa kelompok sayap kanan dan tokoh agama yang memegang keyakinan konservatif tentang peran gender seringkali melihat Butler sebagai ancaman bagi masyarakat. Ini menjadi ironis, mengingat karya-karya Butler selalu mencerminkan komitmennya terhadap keadilan, kesetaraan, dan penolakan atas kekerasan.

Dengan dedikasi Butler terhadap pemikiran queer dan upayanya dalam memajukan hak-hak asasi manusia, ia terus menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh dalam memperjuangkan pengakuan dan penghargaan atas identitas gender yang beragam, serta mencari jalan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

Baca Juga The 5 Popilush Lounge Dresses Contract All Summer

Teori Performativitas Gender dalam Karya Judith Butler

Salah satu warisan paling berpengaruh dari karya Judith Butler adalah teori performativitas gender. Teori ini telah mengalami penyempurnaan seiring berjalannya waktu dan menjadi sorotan utama dalam beberapa bukunya, seperti “Gender Trouble” (1990), “Bodies That Matter” (1993), dan “Undoing Gender” (2004).

Dalam karya-karyanya tersebut, Butler menggugah pandangan esensialis tentang gender, termasuk asumsi bahwa maskulinitas dan feminitas adalah sesuatu yang melekat secara alami atau biologis, bahwa maskulinitas harus dilakukan oleh tubuh laki-laki dan feminitas oleh tubuh perempuan, serta pandangan bahwa tubuh-tubuh ini secara alami tertarik pada lawan jenis.

Sebagai seseorang yang hidup dalam komunitas gay dan lesbian, Butler menyaksikan bagaimana asumsi-asumsi tersebut bahkan dapat menyebabkan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memenuhi ekspektasi gender yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu, Butler mulai mengkritisi cara-cara konvensional dalam memainkan peran maskulinitas dan feminitas, yang sering kali dianggap sebagai bentuk yang benar untuk “melakukan” gender. Dia menggunakan konsep “norma” gender untuk menyoroti kebingungan antara apa yang dianggap sebagai sesuatu yang “ada” dan apa yang dianggap sebagai sesuatu yang “harus” ada, yang menghalangi kemungkinan untuk melihat keberagaman dalam cara hidup sebagai sesuatu yang sah atau bahkan dapat diimajinasikan.

Butler menyampaikan gagasannya bahwa gender bukanlah sesuatu yang bersifat biologis, melainkan performatif. Istilah “performativitas” di sini merujuk pada pernyataan atau tindakan yang menciptakan apa yang dinyatakan atau dilakukan. Misalnya, ketika seseorang yang memiliki kewenangan sosial mengucapkan pernyataan “Saya mengumumkan kalian suami dan istri,” pernyataan itu menciptakan pasangan suami-istri.

Butler berpendapat bahwa gender bekerja dengan cara yang serupa: ketika kita memberikan label “perempuan” atau “laki-laki” pada seseorang, kita secara tidak langsung ikut menciptakan identitas mereka sesuai dengan label tersebut. Dengan cara ini, kita terlibat dalam proses penciptaan dan pengartian kategori gender tersebut.

Beberapa teori gender memisahkan antara jenis kelamin biologis dan gender sosial, tetapi bagi Butler, hal ini kontraproduktif. Bagi Butler, membicarakan jenis kelamin biologis terpisah dari maknanya dalam konteks sosial adalah tidak masuk akal. Kita lahir ke dalam dunia yang telah memiliki pemahaman tertentu tentang gender, dan pemahaman tersebut kemudian mempengaruhi cara kita memahami anatomi tubuh kita. Kita tidak dapat memisahkan diri dari makna sosial tersebut. Faktanya, Butler menekankan bahwa kita tidak akan pernah sepenuhnya mengenali diri kita sendiri.

Beberapa kritikus telah menuduh Butler berpikir bahwa gender sepenuhnya ditentukan oleh bahasa dan tidak memiliki kaitan dengan tubuh, atau bahkan bahwa kita dapat dengan mudah memilih jenis kelamin kita setiap hari. Namun, sebenarnya maksud Butler bukan begitu. Ia berpendapat bahwa reproduksi gender terjadi tidak hanya melalui pengulangan bahasa, tetapi juga melalui tindakan nyata. Cara berpakaian, aktivitas fisik, bahasa tubuh, pengunjungan ke dokter, dan sebagainya, semuanya berkontribusi pada pemahaman dan penguatan gender, lapis demi lapis, hingga menjadi sesuatu yang tampak tak terelakkan.

Namun, proses penciptaan dan pengartian ulang gender tidak pernah berhenti; untuk mempertahankan norma-norma gender, norma-norma tersebut harus terus diulang. Hal ini berarti bahwa pada akhirnya, norma-norma gender bersifat fleksibel dan dapat berubah. Norma-norma tersebut tidak pernah benar-benar “benar,” dan jika kita berhenti mengikutinya atau mengikutinya dengan cara yang berbeda, kita ikut berkontribusi dalam mengubah maknanya. Inilah yang membuka potensi perubahan gender.

Meskipun pemikiran Butler terkadang dianggap rumit karena menantang asumsi-asumsi mendasar tentang manusia, gender, dan bahasa, popularitas karyanya menunjukkan bahwa banyak orang merasa kehidupan mereka tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh pemahaman yang konvensional.

Kehidupan yang Layak dan Nonkekerasan

Selama dua dekade terakhir, tulisan-tulisan Judith Butler telah melampaui kajian gender untuk menggali isu-isu pengucilan dan penindasan politik. Dalam karya-karyanya yang lebih terkini, Butler mengangkat tema sentral tentang keprihatinan terhadap kelompok-kelompok individu yang tidak dianggap sebagai manusia.

Butler menggambarkan tema ini melalui konsep “grievable life” (kehidupan yang menyedihkan), yang menyoroti bagaimana beberapa kehidupan tidak diberi perhatian yang layak, karena dari awal tidak pernah diakui sebagai kehidupan yang berharga. Sebagai contoh, nama-nama penderita HIV/AIDS yang meninggal jarang diabadikan dalam kolom obituari surat kabar besar di AS, begitu juga dengan para tahanan di Teluk Guantanamo, warga Palestina yang tewas akibat tindakan militer Israel, warga kulit hitam yang tewas dalam tindakan kekerasan polisi AS, serta para pengungsi dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang meninggal saat melintasi perbatasan.

Kelompok-kelompok ini dibiarkan hidup dalam keadaan yang tidak layak dan berbahaya, menghadapi ancaman kematian tanpa mendapat perhatian serius dari publik. Di tengah dunia global neoliberal saat ini, semakin banyak orang terjebak dalam situasi-situasi tersebut, tanpa dukungan sosial yang memadai, akses ke layanan kesehatan yang memadai, lingkungan yang berkelanjutan, dan bahkan akses ke ruang publik. Butler menyebut keadaan ini sebagai “kerawanan.”

Sering kali, pengucilan terhadap kelompok-kelompok ini dijustifikasi dengan memandang mereka sebagai ancaman terhadap keamanan, sehingga untuk mempertahankan keamanan, tindakan kerawanan diterapkan pada mereka. Misalnya, kebijakan pemerintah AS setelah peristiwa 9/11 dalam “war on terror” (perang melawan terorisme) yang menyasar berbagai aspek dengan tujuan memberantas terorisme.

Dalam melawan pandangan semacam itu, Butler mengusung konsep etika nirkekerasan. Etika ini didasarkan pada pemahaman bahwa keberadaan kita sebagai manusia hanya terwujud melalui hubungan dengan orang lain. Artinya, tidak ada kehidupan yang sepenuhnya aman dan independen. Kita tidak dapat memilih siapa saja yang berbagi planet ini dengan kita, dan setiap orang selalu memiliki potensi untuk menyakiti kita. Oleh karena itu, jika kita ingin terus hidup bersama, kita harus belajar mengakui dan menghargai bersama kerentanan, seberat apapun itu.

Meskipun mungkin terdengar sebagai ide yang idealis, Butler menyadari bahwa etika nirkekerasan bukan berarti menganggap manusia sebagai “baik” secara inheren. Sebaliknya, etika ini mengakui kompleksitas kehidupan yang sering kali ambivalen dan sulit, terutama dalam dunia yang penuh dengan kekerasan. Namun, kesadaran akan kapasitas kita untuk hidup yang layak bergantung pada menciptakan kondisi yang mendukung kehidupan bagi orang lain, baik manusia maupun non-manusia.

Butler menemukan penerapan praktis dari pendekatan nirkekerasan ini dalam berbagai aksi protes bersama, seperti gerakan Occupy Wall Street di New York dan protes Gezi Park di Turki pada tahun 2013. Dalam aksi-aksi tersebut, orang-orang dari latar belakang yang berbeda bersatu untuk menuntut dunia yang lebih adil dan setara.

Butler mengingatkan kita bahwa kerentanan bukan selalu sesuatu yang buruk; justru kerentananlah yang memungkinkan kita untuk hidup. Semua tubuh harus terbuka terhadap dunia dan orang lain. Tubuh kita berinteraksi dengan makan, bernapas, berbicara, dan membentuk hubungan intim.

Tubuh yang tidak mampu melakukan hal-hal ini akan kesulitan bertahan hidup. Pada akhirnya, Butler mengingatkan kita, dengan ungkapan puitisnya, bahwa untuk menjadi diri kita sendiri sepenuhnya, kita saling membutuhkan satu sama lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *