Ombak di pesisir Nusa Tenggara Barat seolah tak pernah berhenti bercerita. Dulu, ia membawa kehidupan bagi nelayan yang menggantungkan nasib pada laut. Namun belakangan, yang datang bersama arus justru tumpukan plastik, botol, dan limbah rumah tangga.
Laut yang dulu menjadi sumber kehidupan, perlahan berubah menjadi tempat menumpuknya sampah. Melihat kondisi itu, Muslihuddin Aini tak tinggal diam. Sebagai anak pesisir yang tumbuh dengan laut di halaman rumahnya, ia merasa terpanggil untuk bertindak.
Dari kegelisahan itulah lahir sebuah inovasi sederhana namun berdampak besar: Trash Trap, alat penahan sampah plastik di aliran sungai sebelum mencemari laut.
“Saya tidak mau laut ini mati karena ulah manusia. Kalau laut rusak, semua orang rugi,” katanya lirih. Kalimat sederhana, tapi penuh makna — menjadi fondasi gerakan yang kini menginspirasi banyak daerah di Indonesia.
Dari Kegelisahan, Lahirlah Gerakan
Inovasi Trash Trap buatan Muslihuddin bukan proyek besar berbiaya tinggi. Ia menggunakan bahan lokal — pipa PVC, jaring bekas nelayan, dan botol plastik sebagai pelampung. Namun di balik kesederhanaan itu, alat ini bekerja efisien menahan sampah di muara sebelum mencapai laut.
Gerakan ini mengubah cara masyarakat memandang sampah. Dulu, sampah dianggap tak berguna dan mengganggu. Kini, berkat sistem pengelolaan yang ia bangun, sampah menjadi sumber ekonomi baru. Sampah plastik dipilah, dijual, dan sebagian diolah menjadi produk bernilai tambah seperti kerajinan, pot bunga, bahkan bahan bangunan sederhana.

Satukan Gerak: Kolaborasi yang Menumbuhkan Ekonomi
Kunci dari keberhasilan Muslihuddin bukan hanya teknologinya, tapi kemampuannya menyatukan banyak pihak.
Ia melibatkan pemuda, nelayan, ibu rumah tangga, hingga pelajar. Dari situ terbentuk ekosistem sosial yang produktif — masyarakat yang tidak sekadar menjaga lingkungan, tapi juga memanfaatkannya secara berkelanjutan.
“Sampah itu bukan musuh, kalau kita tahu cara mengelolanya. Dengan Trash Trap, kami bisa menyaring sampah dari sungai, lalu memilahnya untuk dijadikan bahan kerajinan atau dijual kembali,” ujar Muslihuddin Aini, dalam wawancara yang dikutip dari Astra Green Energy Forum 2023.
Para ibu kini mengelola bank sampah desa yang membeli plastik hasil tangkapan Trash Trap. Hasil penjualan mereka putar kembali menjadi modal kecil untuk membuat produk daur ulang. Beberapa kelompok bahkan telah menjual produknya di pasar wisata Lombok dan secara daring di media sosial.
“Kini kami punya kelompok usaha kecil yang mengolah sampah jadi suvenir wisata. Hasilnya bisa membantu ibu-ibu nelayan menambah penghasilan keluarga,” kata Lilis Kurniawati, salah satu anggota komunitas Trash Trap NTB (sumber: Kompas.com, 2024)
Inilah bentuk wirausaha hijau (green entrepreneurship) yang tumbuh dari akar rumput. Tanpa disadari, inovasi Muslihuddin menjadi inspirasi bagi banyak desa untuk membangun ekonomi lokal yang berorientasi pada keberlanjutan.
Dari Sampah Jadi Cuan: Wirausaha Hijau di Berbagai Daerah
Jejak gerakan ini merambat cepat. Konsep Trash Trap dan pengelolaan limbah berbasis masyarakat kini diadopsi oleh komunitas lingkungan di Bali, Sulawesi, hingga pesisir Sumatera.
Beberapa daerah bahkan menambahkan inovasi wirausaha seperti:
-
- Produksi paving block dari plastik bekas,
- Pembuatan tas dan dompet dari bahan daur ulang,
- Eco-brick untuk pembangunan fasilitas umum,
- Pelatihan digital marketing bagi pengrajin lokal.
Semua itu berawal dari semangat yang sama: menjaga lingkungan sambil membuka peluang ekonomi.
Muslihuddin sendiri kini menjadi narasumber di berbagai pelatihan lingkungan dan UMKM hijau. Ia mendorong masyarakat agar tidak hanya membersihkan sampah, tapi juga menciptakan nilai dari limbah.
“Kalau kita bisa ubah sampah jadi peluang, orang akan lebih semangat menjaga lingkungan,” ujarnya.
Terus Berdampak: Inovasi yang Menggerakkan Generasi Muda
Gerakan ini tak berhenti di tangan orang dewasa. Anak muda di NTB mulai belajar bahwa bisnis tak selalu soal profit, tapi juga keberlanjutan. Beberapa siswa binaan Muslihuddin kini membuka usaha kecil berbasis lingkungan, seperti menjual produk eco-friendly dan sabun alami tanpa plastik kemasan.
Gerakan ini menumbuhkan semangat baru: wirausaha sosial dan ramah lingkungan.
Konsep yang dulu dianggap idealistis kini menjadi tren nasional. Pemerintah daerah pun ikut mendukung dengan memberikan pelatihan kewirausahaan dan bantuan alat daur ulang.
Dengan kata lain, inovasi Trash Trap bukan hanya alat penyaring sampah — tapi pemicu perubahan mindset ekonomi masyarakat Indonesia menuju ekonomi hijau yang lebih tangguh.

Teknologi Sederhana, Dampak Luar Biasa
Salah satu kekuatan terbesar dari inovasi ini adalah skalabilitasnya. Trash Trap bisa dibuat oleh siapa pun, dengan biaya rendah, dan tanpa ketergantungan pada teknologi impor. Karena itulah, banyak komunitas di berbagai daerah bisa meniru dan menyesuaikan alat ini sesuai kebutuhan lokal mereka.
Lebih jauh lagi, jejak ekonomi sirkular (circular economy) yang dihasilkan membuka rantai nilai baru:
- Pengumpul sampah mendapatkan penghasilan rutin,
- Pengrajin lokal mendapat bahan baku murah,
- Komunitas lingkungan menerima dana dari penjualan daur ulang,
- Dan daerah wisata mendapatkan lingkungan yang lebih bersih dan menarik bagi wisatawan.
Dampak ini menyentuh banyak sektor sekaligus — lingkungan, pendidikan, sosial, dan ekonomi — sesuai semangat “Satukan Gerak, Terus Berdampak.”
Inspirasi untuk Wirausaha Indonesia
Kisah Muslihuddin Aini menunjukkan bahwa wirausaha tidak selalu lahir dari peluang pasar, tapi bisa tumbuh dari kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Sebagai penerima SATU Indonesia Awards menginspirasi banyak orang untuk memulai bisnis berbasis solusi — bukan sekadar mencari untung, tapi menciptakan perubahan.
Gerakan ini sejalan dengan semangat Astra yang mendorong inovasi sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Muslihuddin menjadi contoh nyata bahwa kolaborasi antara masyarakat, teknologi lokal, dan semangat gotong royong bisa menjadi motor pembangunan berkelanjutan.
Penutup: Dari Laut yang Bersih, Tumbuh Masa Depan yang Mandiri
Kini, setiap kali Muslihuddin melihat laut di kampung halamannya, ia melihat lebih dari sekadar air biru yang tenang. Ia melihat hasil kerja keras banyak tangan — anak muda, ibu rumah tangga, dan nelayan — yang bersama-sama menjaga laut sambil membangun kehidupan yang lebih baik.
Inovasi Trash Trap bukan hanya alat penangkap sampah. Ia adalah jembatan antara kepedulian dan kesejahteraan.
Ia mengajarkan bahwa menjaga bumi bisa sejalan dengan menumbuhkan ekonomi, dan bahwa wirausaha sejati adalah mereka yang berani bergerak — tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk kehidupan yang lebih luas.
Selama masih ada orang seperti Muslihuddin Aini, semangat “Satukan Gerak, Terus Berdampak” akan terus hidup — mengalir seperti sungai yang membawa bukan lagi sampah, tapi harapan baru bagi masa depan Indonesia yang lestari dan mandiri.
Sumber Referensi:
- Astra Green Energy Forum 2023 – Profil Inovator Trash Trap, Muslihuddin Aini.
- Kompas.com (2024). “Trash Trap, Inovasi Penangkap Sampah Laut dari NTB yang Ubah Limbah Jadi Berkah.”
- Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Laporan Program Bersih Laut 2024.
- Satu Indonesia Awards 2024 – Sambutan Riza Deliansyah, Head of CSR Astra International.
- Jurnal Abdi Insani https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fabdiinsani.unram.ac.id%2Findex.php%2Fjurnal%2Farticle%2Fdownload%2F988%2F569&psig=AOvVaw1A0xcuO00uLo__8effsDlF&ust=1760796394478000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CAMQjB1qFwoTCMDpz_Ozq5ADFQAAAAAdAAAAABAK